NIHIL CELAKA atau NIHIL TOLERANSI
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh...
Salam sejahtera untuk kita semua, semoga masih dalam lindungan Allah Swt.
Dalam tulisan kali ini, saya kembali mencoba mengutik Tulisan dari Praktisi K3 Senior kita, bpk. Roslinormansyah yakni Nihil Celaka atau Nihil Toleransi atau Bahasa kerennya Zero Accident or Zero Tolerance.
Eehh iya, sebelum kita lanjut, pastikan Kopi sudah tersedia agar lebih nikmat dan santai sambil membaca tulisan ini.
Dalam sebuah standard, yaitu IEC 51, Safety didefinisikan sebagai Freedom from Unacceptable Risk. Definisi ini cukup menarik mengingat bahwa masih banyak Praktisi / Akademisi K3 yang selalu mengaitkan definisi Safety dengan pencegahan Adverse Outcome (baca : Accident). Definisi diatas dapat diterjemahkan bahwa safety adalah penerapan Acceptable Risk.
Yang jadi persoalan adalah bagaimanakah Acceptable Risk itu?
Dalam berbagai literasi memang disebutkan suatu istilah ALARP (As Low As Reasonably Practicable). Istilah ini sebenarnya menggambarkan bahwa dalam aktifitas apapun tidak ada tempat bagi risiko yang dikategorikan tidak dapat diterima / risiko yang dipersepsikan memiliki "Likelihood" yang tinggi atau "Consequences" yang tinggi.
Ketika berbicara risiko tinggi, jamak di kalangan Akademisi / Praktisi K3 selalu menengok pada hirarki pengendalian. Untuk kemudian secara subyektif dipilih pengendalian apa, berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, yang sesuai untuk risiko tersebut.
Dan ketika dipilih pengendalian tersebut, kenapa masih terjadi celaka? apakah tidak tepat pengendalian yang dipilih? atau apakah pengendalian yang dipilih tersebut gagal menjalankan fungsinya?
Persoalannya bukan pada tidak tepatnya pengendali risiko yang dipilih atau gagalnya pengendali risiko berfungsi. Persoalannya ada pada tingginya Toleransi pada "Deviasi" atas dipergunakannya pengendalian risiko tersebut.
Bagaimana suatu Toleransi terjadi pada Deviasi penerapan pengendalian risiko?
Kita ambil contoh sederhana :
Pemakaian Job Safety Analysis (JSA). Semua Akademisi / Praktisi K3 yakin bahwa JSA adalah salah satu pengendali risiko, namun seberapa banyak Praktisi / Akademisi K3 yang memeriksa pemahaman langkah demi langkah yang aman pada yang tertuang dalam JSA tersebut serta pada para pemakainya? Seberapa banyak Praktisi / Akademisi K3 yang selalu melakukan "Test" JSA tersebut kepada pihak-pihak yg menggunakan JSA tersebut sebelum izin kerja diberikan? Ketiadaan pemeriksaan ataupun jarangnya melakukan test adalah bentuk-bentuk "Deviasi" pada penerapan pengendalian risiko. Dapat pula dikatakan bahwa secara sadar praktisi / Akademisi K3 telah melakukan toleransi bahwa adanya JSA saja cukup untuk mengendalikan riaiko, tanpa perlu lagi melihat apakah itu efektif atau tidak (disebut efektif jika para pemakai JSA betul² tahu dan paham isi atas JSA tersebut).
Toleransi atas Deviasi inilah yang kerap "Lolos" dari penyelidikan setiap Accident yang terjadi.
Bahkan terkadang walau kita tahu dan paham tingkat risiko yang dihadapi dalam suatu aktifitas kerja, kita secara sadar pula melakukan berbagai Toleransi atas Deviasi penerapan pengendalian Risikonya.
Toleransi atas Deviasi inilah sebenarnya awal dari Accident. Toleransi atas Deviasi inilah sebenarnya awal dari kerugian.
Oleh karena itu pada setiap pengukuran kinerja K3 selalu yang menjadi ukuran adalah ada tidaknya Celaka bukan ada tidaknya Toleransi. Kenapa ini bisa terjadi?, ya karena banyak dari kita (Praktisi / Akademisi K3) belum memahami makna kata "Freedom" dari definisi standard IEC 51 tersebut.
Demikianlah kutipan ini, semoga kita semua dapat lebih meng - Improve lagi diri kita sebagai seorang Akademisi / Praktisi K3.
Semoga bermanfaat.
Balikpapan, 13 Desember 2020
Referensi :
- IEC 51 - Safety Aspect
- Andrew Hopkins : Organising for Safety
(How structure creates culture)
- Scott E Geller : Key points of Behaviour Based
Safety
By : Hamdani Angga Kusuma.
Comments
Post a Comment